HIV / AIDS
HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Jika makin banyak sel CD4 yang hancur, daya tahan tubuh akan makin melemah sehingga rentan diserang berbagai penyakit.
HIV yang tidak segera ditangani akan berkembang menjadi kondisi serius yang disebut AIDS (acquired immunodeficiency syndrome). AIDS adalah stadium akhir dari infeksi HIV. Pada tahap ini, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi sudah hilang sepenuhnya.
Penularan HIV terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh penderita, seperti darah, sperma, cairan vagina, cairan anus, serta ASI. Perlu diketahui, HIV tidak menular melalui udara, air, keringat, air mata, air liur, gigitan nyamuk, atau sentuhan fisik.
HIV adalah penyakit seumur hidup. Dengan kata lain, virus HIV akan menetap di dalam tubuh penderita seumur hidupnya. Meski belum ada metode pengobatan untuk mengatasi HIV, tetapi ada obat yang bisa memperlambat perkembangan penyakit ini dan dapat meningkatkan harapan hidup penderita.
Gejala HIV dan AIDS
Kebanyakan penderita mengalami flu ringan pada 2–6 minggu setelah terinfeksi HIV. Flu bisa disertai dengan gejala lain dan dapat bertahan selama 1–2 minggu. Setelah flu membaik, gejala lain mungkin tidak akan terlihat selama bertahun-tahun meski virus HIV terus merusak kekebalan tubuh penderitanya, sampai HIV berkembang ke stadium lanjut menjadi AIDS.
Pada kebanyakan kasus, seseorang baru mengetahui bahwa dirinya terserang HIV setelah memeriksakan diri ke dokter akibat terkena penyakit parah yang disebabkan oleh melemahnya daya tahan tubuh. Penyakit parah yang dimaksud antara lain diare kronis, pneumonia, penurunan berat badan secara drastis (cachexia), atau toksoplasmosis otak.
Penyebab dan Faktor Risiko HIV dan AIDS
Penyakit HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus atau HIV, sesuai dengan nama penyakitnya. Bila tidak diobati, HIV dapat makin memburuk dan berkembang menjadi AIDS.
Penularan HIV dapat terjadi melalui hubungan seks vaginal atau anal, penggunaan jarum suntik, dan transfusi darah. Meskipun jarang, HIV juga dapat menular dari ibu ke anak selama masa kehamilan, melahirkan, dan menyusui.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan adalah sebagai berikut:
- Berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan dan tanpa menggunakan pengaman
- Menggunakan jarum suntik bersama-sama
- Melakukan pekerjaan yang melibatkan kontak dengan cairan tubuh manusia tanpa menggunakan alat pengaman diri yang cukup
Lakukan konsultasi ke dokter bila Anda menduga telah terpapar HIV melalui cara-cara di atas, terutama jika mengalami gejala flu dalam kurun waktu 2–6 minggu setelahnya.
Pengobatan HIV dan AIDS
Penderita yang telah terdiagnosis HIV harus segera mendapatkan pengobatan berupa terapi antiretroviral (ARV). ARV bekerja mencegah virus HIV bertambah banyak sehingga tidak menyerang sistem kekebalan tubuh.
Pencegahan HIV dan AIDS
Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghindari dan meminimalkan penularan HIV:
- Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah
- Tidak berganti-ganti pasangan seksual
- Menggunakan kondom saat berhubungan seksual
- Menghindari penggunaan narkoba, terutama jenis suntik
- Mendapatkan informasi yang benar terkait HIV, cara penularan, pencegahan, dan pengobatannya, terutama bagi anak remaja
Virus HIV terbagi menjadi dua tipe utama, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Pada 90% kasus, infeksi HIV disebabkan oleh HIV-1. Sementara, HIV-2 diketahui hanya menyerang sebagian kecil orang, khususnya di Afrika Barat.
Penularan HIV terjadi saat cairan tubuh penderita (bisa darah, sperma, atau cairan vagina), masuk ke dalam tubuh orang lain. Hal ini dapat terjadi melalui berbagai cara berikut:
- Hubungan seks
Infeksi HIV dapat terjadi melalui hubungan seks baik melalui vagina maupun dubur (seks anal). Meski sangat jarang, HIV juga dapat menular melalui seks oral. Namun, penularan lewat seks oral hanya terjadi bila terdapat luka terbuka di mulut penderita, misalnya akibat gusi mudah berdarah atau sariawan. - Penggunaan jarum suntik
Berbagi penggunaan jarum suntik dengan penderita HIV adalah salah satu cara yang dapat membuat seseorang tertular HIV. Penularan bisa terjadi jika berbagi pakai jarum suntik ketika menggunakan NAPZA atau saat membuat tato. - Transfusi darah
Penularan HIV dapat terjadi saat seseorang menerima donor darah dari penderita HIV. Namun, kemungkinan terjadinya penularan ini cukup rendah. Hal ini karena sekarang pendonor darah harus melewati skrining HIV dan infeksi lainnya terlebih dahulu.
Selain melalui berbagai cara di atas, HIV juga bisa menular dari ibu hamil ke janin yang dikandungnya. Virus HIV juga dapat menular pada proses melahirkan, atau melalui air susu ibu saat proses menyusui.
Perlu diketahui, HIV tidak menyebar melalui kontak kulit seperti berjabat tangan atau berpelukan dengan penderita. Penularan juga tidak terjadi melalui ludah, ciuman, gigitan, atau berbagi alat makan, kecuali bila penderita mengalami sariawan, gusi berdarah, atau memiliki luka terbuka di mulut.
Faktor Risiko HIV dan AIDS
HIV bisa menginfeksi semua orang dari segala usia. Akan tetapi, risiko tertular HIV lebih tinggi pada pria yang tidak disunat, baik pria heteroseksual atau lelaki seks lelaki. Selain itu, risiko tertular HIV juga lebih tinggi pada individu dengan sejumlah faktor berikut:
- Melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom, melalui dubur (anus), atau dengan berganti-ganti pasangan
- Menderita infeksi menular seksual (IMS), misalnya sifilis, herpes, klamidia, gonore, dan vaginosis bakterialis, karena sebagian besar IMS menyebabkan luka terbuka di kelamin penderita
- Menggunakan NAPZA suntik, karena umumnya pelaku narkoba akan saling berbagi jarum suntik
- Menerima suntikan, transfusi darah, transplantasi jaringan, dan prosedur medis yang tidak steril atau tidak dilakukan oleh tenaga profesional
- Bekerja sebagai petugas kesehatan, karena berisiko mengalami cedera akibat tidak sengaja tertusuk jarum suntik
Gejala HIV dibagi berdasarkan tahap perkembangan penyakitnya, yaitu:
Tahap 1: Infeksi HIV Akut
Tahap pertama HIV adalah tahap infeksi akut, yang terjadi pada beberapa bulan pertama setelah seseorang terinfeksi HIV atau selepas seseorang melewati masa inkubasi virus. Pada tahap ini, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi membentuk antibodi untuk melawan virus HIV.
Gejala pada tahap ini muncul 2–4 minggu setelah infeksi terjadi. Penderita umumnya tidak menyadari telah terinfeksi HIV, karena gejala yang muncul mirip dengan gejala penyakit flu, serta dapat hilang dan kambuh kembali. Pada tahap ini, jumlah virus di dalam aliran darah cukup tinggi sehingga penularan infeksi lebih mudah terjadi.
Gejala tahap infeksi akut bisa ringan hingga berat dan dapat berlangsung hingga beberapa hari hingga beberapa minggu. Gejalanya meliputi:
- Demam hingga menggigil
- Muncul ruam di kulit
- Muntah
- Nyeri pada sendi dan otot
- Pembengkakan kelenjar getah bening
- Sakit kepala
- Sakit perut
- Sakit tenggorokan dan sariawan
Tahap 2: Infeksi HIV Kronis (Masa Laten)
Setelah beberapa bulan, infeksi HIV memasuki tahap laten. Infeksi tahap laten bisa berlangsung sampai beberapa tahun atau dekade. Pada tahap ini, virus HIV tetap aktif merusak daya tahan tubuh, tetapi berkembang biak dalam jumlah yang lebih sedikit.
Gejala infeksi HIV pada tahap laten bervariasi. Beberapa penderita bahkan tidak merasakan gejala apa pun pada tahap ini. Namun, sebagian lainnya mengalami sejumlah gejala berikut:
- Berat badan menurun
- Berkeringat di malam hari
- Batuk
- Diare
- Mual dan muntah
- Herpes zoster
- Pembengkakan kelenjar getah bening
- Sakit kepala
- Kelelahan
Tahap 3: AIDS
Infeksi tahap laten yang terlambat ditangani akan membuat HIV makin berkembang. Kondisi ini membuat infeksi HIV memasuki tahap ketiga, yaitu AIDS. Pada tahap ini, sistem kekebalan tubuh sudah rusak parah sehingga penderita akan lebih mudah terserang infeksi lain.
Gejala AIDS meliputi:
- Berat badan turun tanpa diketahui sebabnya
- Berkeringat di malam hari
- Bercak putih di lidah, mulut, kelamin, dan anus
- Bintik ungu di kulit yang tidak bisa hilang
- Demam yang berlangsung lebih dari 10 hari
- Diare kronis
- Infeksi jamur di mulut, tenggorokan, atau vagina
- Pembengkakan kelenjar getah bening, di ketiak, leher, dan selangkangan
- Gangguan saraf, seperti sulit berkonsentrasi, lupa ingatan, dan kebingungan
- Mudah memar atau berdarah
- Tubuh terasa mudah lelah
- Mudah marah dan depresi
- Ruam atau bintik di kulit
- Sesak napas
Kapan Harus ke Dokter
Pada beberapa kasus, gejala HIV di awal infeksi tidak menimbulkan gejala apa pun. Kebanyakan penderita baru menyadari bahwa mereka terinfeksi HIV setelah virus ini berkembang ke stadium lanjut menjadi AIDS.
Jika Anda merasa terpapar HIV akibat melakukan tindakan yang berisiko (seperti hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan), segera lakukan pemeriksaan ke dokter guna mendeteksi kemungkinan HIV lebih dini.
Deteksi dini dan pemeriksaan HIV secara rutin juga perlu dilakukan pada orang-orang yang memiliki risiko tertular HIV, seperti pekerja seks komersial, orang yang pernah berhubungan seks dengan pengguna narkoba suntik, serta pembuat tindik atau tato.
Pada penderita HIV, disarankan untuk segera konsultasi ke dokter bila mengalami kondisi berikut:
- Berat badan turun drastis
- Sariawan yang tidak kunjung sembuh
- Ruam kulit yang tidak kunjung hilang
- Pembengkakan kelenjar leher atau selangkangan
- Terdapat selaput putih dalam mulut
Untuk mendeteksi apakah seseorang terinfeksi HIV, dokter akan melakukan tes HIV. Skrining dilakukan dengan mengambil sampel darah atau urine pasien untuk diteliti di laboratorium. Jenis skrining untuk mendeteksi HIV adalah:
- Tes antibodi
Tes ini bertujuan untuk mendeteksi antibodi yang dihasilkan tubuh untuk melawan infeksi HIV. Meski akurat, perlu waktu 2–8 minggu setelah terinfeksi. Tujuannya adalah agar jumlah antibodi dalam tubuh cukup tinggi untuk terdeteksi saat pemeriksaan. - Tes kombinasi antigen-antibodi
Tes ini bertujuan untuk mendeteksi protein p24 yang menjadi bagian dari virus HIV. Tes antigen dapat dilakukan 2–4 minggu setelah pasien terinfeksi. - Tes asam nukleat atau nucleic acid test (NAT)
Tes ini disebut juga sebagai tes RNA. Tes ini mendeteksi keberadaan virus HIV di dalam tubuh dan dapat dilakukan 10 hari setelah terinfeksi. Namun, harga tes ini cukup mahal.
Bila hasil skrining menunjukkan pasien terinfeksi HIV (HIV positif), maka pasien perlu menjalani tes lebih lanjut. Selain untuk memastikan hasil skrining, tes tersebut bertujuan untuk membantu dokter mengetahui tahap infeksi yang diderita pasien dan menentukan metode pengobatan yang tepat.
Sama seperti skrining, tes ini dilakukan dengan mengambil sampel darah pasien, untuk diteliti di laboratorium. Beberapa tes tersebut antara lain:
Hitung Sel CD4
CD4 adalah bagian dari sel darah putih yang dihancurkan oleh HIV. Makin sedikit jumlah CD4, makin besar pula kemungkinan seseorang menderita AIDS.
Pada kondisi normal, jumlah CD4 berada dalam rentang 500–1400 sel/mm3. Infeksi HIV berkembang menjadi AIDS bila hasil hitung sel CD4 di bawah 200 sel/mm3.
Pemeriksaan Viral Load (HIV RNA)
Pemeriksaan viral load bertujuan untuk menghitung kira-kira seberapa banyak jumlah virus di dalam tubuh penderita HIV. Selain itu, tes ini bertujuan untuk menilai efektivitas terapi HIV.
Jumlah virus di dalam tubuh digambarkan dengan jumlah RNA (materi genetik virus). Jumlah RNA yang lebih dari 100.000 kopi/mL darah bisa menandakan infeksi HIV baru saja terjadi, atau infeksi sudah lama terjadi dan tidak tertangani.
Sementara itu, jumlah RNA di bawah 10.000 kopi/mL darah menandakan perkembangan virus tidak terlalu cepat. Meski begitu, jumlah virus dalam rentang ini tetap dapat menyebabkan kerusakan secara perlahan pada sistem kekebalan tubuh.
Terapi HIV akan diteruskan sampai hasil tes viral load tidak terdeteksi atau kurang dari 20 kopi/mL. Hasil tes viral load yang tidak terdeteksi dapat menurunkan kemungkinan komplikasi penyakit ini secara signifikan.
Tes Resistensi Obat
Beberapa subtipe HIV diketahui kebal terhadap obat anti HIV. Melalui tes ini, dokter dapat menentukan jenis obat anti HIV yang tepat bagi pasien.
Meski sampai saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan HIV, tetapi ada jenis obat yang dapat memperlambat perkembangan virus. Jenis obat ini disebut sebagai antiretroviral (ARV).
ARV bekerja dengan menghilangkan unsur yang dibutuhkan oleh virus HIV untuk menggandakan diri dan mencegah virus HIV menghancurkan sel CD4. Beberapa jenis obat ARV adalah:
- Dolutegravir
- Efavirenz
- Etravirine
- Nevirapine
- Lamivudin
- Zidovudin
- Emtricitabine-tenofovir
Selain antiretroviral, pengobatan infeksi HIV juga akan melibatkan antivirus lainnya, seperti lopinavir-ritonavir. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas obat.
Selama mengonsumsi obat antivirus HIV, dokter akan memonitor viral load dan sel CD4 untuk menilai respons pasien terhadap pengobatan. Hitung sel CD4 akan dilakukan tiap 3–6 bulan, sedangkan pemeriksaan viral load dilakukan sejak awal pengobatan dan dilanjutkan tiap 3–4 bulan selama masa pengobatan.
Pasien harus segera mengonsumsi ARV begitu didiagnosis menderita HIV agar perkembangan virus HIV dapat dikendalikan. Penting untuk diingat, menunda pengobatan dapat membuat virus terus merusak sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko infeksi berkembang menjadi AIDS.
Selain itu, penting bagi pasien untuk mengonsumsi ARV sesuai petunjuk dokter. Melewatkan konsumsi obat akan membuat virus HIV berkembang lebih cepat dan memperburuk kondisi pasien.
Bila pasien melewatkan jadwal konsumsi obat, segera minum begitu ingat dan tetap ikuti jadwal konsumsi berikutnya. Namun, bila dosis yang terlewat cukup banyak, segera konsultasikan dengan dokter. Dokter dapat mengganti resep atau dosis obat sesuai kondisi pasien saat itu.
Pasien HIV juga dapat mengonsumsi lebih dari satu obat ARV dalam sehari. Oleh karena itu, pasien perlu mengetahui efek samping yang mungkin timbul akibat mengonsumsi obat ini, antara lain:
- Pusing
- Sakit kepala
- Mual dan muntah
- Diare
- Mulut kering
- Tulang rapuh
- Kadar gula darah tinggi
- Kadar kolesterol tidak normal
- Kerusakan jaringan otot (rhabdomyolysis)
- Penyakit jantung
- Sulit tidur
- Tubuh terasa lelah
Pengobatan HIV perlu dilakukan secara bertahap dan dalam waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya untuk memiliki asuransi kesehatan. Dengan begitu, proses pengobatan bisa lebih optimal dan Anda pun tidak perlu terlalu memikirkan biaya pengobatan.
Komplikasi HIV dan AIDS
Infeksi HIV membuat sistem kekebalan tubuh melemah, sehingga tubuh menjadi lebih rentan terserang berbagai penyakit, seperti infeksi oportunistik atau bahkan kanker. Penyakit yang bisa muncul sebagai komplikasi HIV/AIDS antara lain:
- Tuberkulosis (TBC)
Tuberkulosis adalah infeksi paru-paru yang sering menyerang penderita HIV, bahkan menjadi penyebab utama kematian pada penderita AIDS. Penderita HIV yang kontak dengan pasien tuberkulosis mungkin akan disarankan untuk menjalani pengobatan dengan isoniazid guna mencegah TBC berkembang. - Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah infeksi parasit yang dapat memicu kejang bila sampai menyebar ke otak. - Cytomegalovirus
Cytomegalovirus adalah infeksi yang disebabkan oleh salah satu kelompok virus herpes. Infeksi ini dapat menyebabkan kerusakan pada mata, saluran pencernaan, dan paru-paru. Penderita HIV/AIDS bisa mendapatkan tambahan pengobatan dengan valganciclovir atau ganciclovir untuk mengendalikan virus ini. - Candidiasis
Candidiasis adalah infeksi akibat jamur Candida, yang menyebabkan ruam pada sejumlah area tubuh. - Kriptosporidiosis
Kriptosporidiosis adalah infeksi akibat parasit yang hidup di dalam sistem pencernaan. - Meningitis kriptokokus
Meningitis kriptokokus adalah peradangan pada selaput otak dan tulang belakang yang disebabkan oleh jamur. - Wasting syndrome
Wasting syndrome adalah kondisi ketika penderita AIDS kehilangan 10% berat badan. Wasting syndrome biasanya disertai diare dan demam kronis. - HIVAN
HIVAN (HIV-associated nephropathy) adalah peradangan pada saringan di ginjal. Kondisi ini menyebabkan gangguan pada proses pembuangan limbah sisa metabolisme dari tubuh. - Gangguan neurologis
Meski AIDS tidak menginfeksi sel saraf, tetapi penderitanya bisa mengalami depresi, mudah marah, bahkan sulit berjalan. Salah satu gangguan saraf yang paling sering menyerang penderita AIDS adalah demensia.
Risiko terjadinya komplikasi berupa infeksi dapat diturunkan dengan penggunaan antivirus. Selain itu, jika sistem kekebalan tubuh pasien tidak mencukupi, dokter dapat memberikan antibodi (IVIG) dari donor yang sehat.
Selain sejumlah penyakit di atas, ada jenis kanker yang dapat menyerang penderita HIV, di antaranya sarkoma kaposi dan limfoma. Sarkoma kaposi adalah kanker yang bisa muncul di sepanjang pembuluh darah atau saluran getah bening. Sementara, limfoma merupakan kanker pada kelenjar getah bening.
Pencegahan HIV dan AIDS
Sampai saat ini, belum ada vaksin yang dapat mencegah infeksi HIV. Namun, penularan HIV dapat dicegah dengan konsep “ABCDE”, yakni:
A (Abstinence)
Bagi yang belum menikah, tidak melakukan hubungan seks di luar nikah adalah langkah yang paling tepat untuk menghindari paparan HIV.
B (Be Faithful)
Bersikaplah saling setia kepada satu pasangan seks. Hindari perilaku berganti-ganti pasangan untuk meminimalisir kemungkinan penularan HIV.
C (Condom)
Gunakan kondom yang baru tiap berhubungan seks, baik melalui vagina maupun melalui dubur. Bila memilih kondom berpelumas, pastikan memilih pelumas yang berbahan dasar air. Hindari kondom dengan pelumas yang berbahan dasar minyak, karena dapat membuat kondom bocor.
D (Drug No)
Menghindari penggunaan narkoba, terutama melalui jarum suntik, bisa mencegah seseorang terinfeksi HIV. Selain itu, menghindari berbagi pakai jarum suntik juga dapat mencegah infeksi virus hepatitis B.
E (Education)
Pemberian informasi yang benar mengenai HIV, cara penularan, pencegahan, dan pengobatannya, dapat membantu mencegah penularan HIV di masyarakat.
Bagi Anda yang berisiko tinggi terinfeksi HIV tetapi terkonfirmasi negatif, dokter dapat memberikan obat pre-exposure prophylaxis (PrEP). Pada pria, prosedur sunat juga dinilai dapat mengurangi risiko infeksi HIV.
Jika Anda didiagnosis positif HIV, beri tahu pasangan Anda agar ia juga menjalani tes HIV atau VCT. Bila Anda didiagnosis HIV pada masa kehamilan, diskusikan dengan dokter terkait langkah penanganan selanjutnya, perencanaan persalinan, dan cara untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke janin.
Salah satu upaya darurat ketika Anda menduga baru terpapar virus HIV (misalnya karena berhubungan seks dengan penderita HIV) adalah dengan berkonsultasi dengan dokter terkait hal tersebut. Dokter akan meresepkan obat post-exposure prophylaxis (PEP).
Obat PEP adalah kombinasi tiga obat antiretroviral yang bertujuan untuk mencegah perkembangan infeksi HIV. Obat ini harus mulai dikonsumsi maksimal 72 jam setelah terpapar HIV. Dalam satu resep, obat ini harus dikonsumsi selama 28 hari.