ASN BerAKHLAK #Bangga Melayani Bangsa

Detail Berita

Pengertian TB

Blog Single

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex.

Patogenesis dari TB terkait erat dengan respon imun dari inang (host). Pada sebagian besar inang, invasi patogen TB akan direspon secara adekuat oleh sistem imun, membatasi pertumbuhan bakteri, dan mencegah terjadinya infeksi. Secara paradoks, sebagian besar kerusakan jaringan yang ditimbulkan pada infeksi TB justru berasal dari respon imun inang, misalnya pada kejadian nekrosis perkijuan dan kavitas yang khas dilihat pada paru pasien TB. Pada pasien dengan sistem imun yang inadekuat, misalnya pada pasien HIV, dapat menghasilkan tanda dan gejala yang atipikal. Pada pasien TB-HIV, penampakan kavitas biasanya tidak dijumpai pada foto toraks. Meskipun demikian, meskipun tidak atau sedikit dijumpai kerusakan jaringan akibat respon imun inang pada pasien TB-HIV, rendahnya respon imun mengakibatkan bakteri TB lebih mudah berproliferasi dan menyebar. Hal tersebut dapat dilihat dari gambaran foto toraks TB miliar yang umum dijumpai pada pasien TB-HIV. Tidak semua orang yang terpajan dengan patogen TB akan berkembang menjadi penyakit TB. Secara skematis, persentase orang terpajan TB yang akan berkembang menjadi penyakit TB

Tuberkulosis adalah penyakit yang menular lewat udara (airborne disease). Penularannya melalui partikel yang dapat terbawa melalui udara (airborne) yang disebut dengan droplet nuklei, dengan ukuran 1 – 5 mikron.8 Droplet nuklei dapat bertahan di udara hingga beberapa jam tergantung dari kondisi lingkungan. Droplet nuklei memiliki sifat aerodinamis yang memungkinkannya masuk ke dalam saluran napas melalui inspirasi hingga mencapai bronkiolus respiratorius dan alveolus. Bila inhalasi droplet nuklei yang terinhalasi berjumlah sedikit, kuman TB yang terdeposisi pada saluran napas akan segera difagosit dan dicerna oleh sistem imun nonspesifik yang diperankan oleh makrofag. Namun jika jumlah kuman TB yang terdeposit melebihi kemampuan makrofag untuk memfagosit dan mencerna, kuman TB dapat bertahan dan berkembang biak secara intraseluler di dalam makrofag hingga menyebabkan pneumonia tuberkulosis yang terlokalisasi. Kuman yang berkembang biak di dalam makrofag ini akan keluar saat makrofag mati. Sistem imun akan merespon dengan membentuk barrier atau pembatas di sekitar area yang terinfeksi dan membentuk granuloma. Jika respon imun tidak dapat mengontrol infeksi ini, maka barrier ini dapat ditembus oleh kuman TB. Kuman TB, dengan bantuan sistem limfatik dan pembuluh darah, dapat tersebar ke jaringan dan organ yang lebih jauh misalnya kelenjar limfatik, apeks paru, ginjal, otak, dan tulang.

Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut fokus primer. Fokus primer ini dapat timbul di bagian mana saja dalam paru. Dari fokus primer akan terjadi peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Fokus primer bersamasama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu kejadian sebagai berikut :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) 3. Menyebar dengan cara: a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman TB akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. c. Penyebaran secara limfogen ke kelenjar limfa sekitar dan dapat menyebabkan limfadenitis TB. Sistem limfatik paru menyediakan rute penyebaran M.tuberculosis secara langsung dari fokus infeksi awal pada paru ke kelenjar limfa sekitarnya di mana respon imun selanjutnya terbentuk.8 Pada pembuluh limfa sendiri terjadi inflamasi progresif sebagai bagian dari proses infeksi primer. Kuman M. tuberculosis akan menyebar di saluran pembuluh limfa pada awal-awal infeksi. Penyebaran pada penjamu yang memiliki defek imun baik lesi pada paru maupun kelenjar limfa dapat bersifat progresif. Penyebaran infeksi ke ekstra paru biasanya berawal dari penyebaran ke kelenjar limfa. Penyebaran dari simtem limfatik ini dapat berlanjut ke penyebaran hematogen melalui duktus torasikus. Penyebaran secara hematogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB, typhobacillosis Landouzy  Penyebaran ini juga dapat menimbulkan TB pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan: ? Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau ? Meninggal.

Klasifikasi berdasarkan lokasi infeksi:

Tuberkulosis paru: yaitu TB yang berlokasi di parenkim paru. TB milier dianggap sebagai TB paru karena adanya keterlibatan lesi pada jaringan paru. Pasien TB yang menderita TB paru dan ekstraparu bersamaan diklasifikasikan sebagai TB paru. o Tuberkulosis ekstra paru: TB yang terjadi pada organ selain paru, dapat melibatkan organ pleura, kelenjar limfatik, abdomen, saluran kencing, saluran cerna, kulit, meninges, dan tulang. Jika terdapat beberapa TB ekstraparu di organ yang berbeda, pengklasikasian dilakukan dengan menyebutkan organ yang terdampak TB terberat.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: o Kasus baru TB: kasus yang belum pernah mendapatkan obat anti tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT dengan total dosis kurang dari 28 hari. o Kasus yang pernah diobati TB: ? Kasus kambuh: kasus yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis kembali dengan TB. ? Kasus pengobatan gagal: kasus yang pernah diobati dengan OAT dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. ? Kasus putus obat: kasus yang terputus pengobatannya selama minimal 2 bulan berturutturut. ? Lain-lain: kasus yang pernah diobati dengan OAT namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

Klasifikasi berdasarkan status HIV: o TB dengan HIV positif o TB dengan HIV negatif o TB dengan status HIV tidak diketahui

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala klinis Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala utama dan gejala tambahan: 1. Gejala utama ? batuk berdahak ? 2 minggu 2. Gejala tambahan ? batuk darah ? sesak napas ? badan lemas ? penurunan nafsu makan ? penurunan berat badan yang tidak disengaja ? malaise ? berkeringat di malam hari tanpa kegiatan fisik ? demam subfebris lebih dari satu bulan ? nyeri dada

Gejala di atas dapat tidak muncul secara khas pada pasien dengan koinfeksi HIV. Selain gejala tersebut, perlu digali riwayat lain untuk menentukan faktor risiko seperti kontak erat dengan pasien TB, lingkungan tempat tinggal kumuh dan padat penduduk, dan orang yang bekerja di lingkungan berisiko menimbulkan pajanan infeksi paru, misalnya tenaga kesehatan atau aktivis TB. Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah kasar/halus, dan/atau tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi ditemukan suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”.

Uji tuberkulin yang positif menunjukkan terdapat infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula, atau ukuran indurasi yang besar. Ambang batas hasil positif berbeda tergantung dari riwayat medis pasien. Indurasi ≥5 mm dianggap positif pada pasien dengan HIV, riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi TB aktif, pasien dengan gambaran khas TB pada foto toraks, pasien dengan imunosupresi, pasien dengan terapi kortikosteroid jangka panjang, pasien dengan gagal ginjal stadium akhir. Indurasi ≥10 mm dianggap positif pada pasien yang tinggal di atau datang dari (kurang dari 5 tahun) negara dengan prevalensi TB tinggi, pengguna obat suntik, pasien yang tinggal di tempat dengan kepadatan yang tinggi (misal penjara), staf laboratorium mikrobiologi, pasien dengan risiko tinggi (misalnya diabetes, gagal ginjal, sindrom malabsorpsi kronik), dan balita. Indurasi ≥15 mm dianggap positif pada semua pasien. Pada pasien dengan malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif palsu.

Tujuan pengobatan TB adalah: 1. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup. 2. Mencegah kematian dan/atau kecacatan karena penyakit TB atau efek lanjutannya. 3. Mencegah kekambuhan. 4. Menurunkan risiko penularan TB 5. Mencegah terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) serta penularannya.

Pemberian OAT adalah komponen terpenting dalam penanganan tuberkulosis dan merupakan cara yang paling efisien dalam mencegah transmisi TB. Prinsip pengobatan TB yang adekuat meliputi: 1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan obat yang meliputi minimal empat macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. 2. OAT diberikan dalam dosis yang tepat. 3. OAT ditelan secara teratur dan diawasi oleh pengawas menelan obat (PMO) hingga masa pengobatan selesai. 4. OAT harus diberikan dalam jangka waktu yang cukup, meliputi tahap awal/ fase intensif dan tahap lanjutan. Pada umumnya lama pengobatan TB paru tanpa komplikasi dan komorbid adalah 6 bulan. Pada TB ekstraparu dan TB dengan komorbid, pengobatan dapat membutuhkan waktu lebih dari 6 bulan. Pada tahap awal/fase intensif, OAT diberikan setiap hari. Pemberian OAT pada tahap awal bertujuan untuk menurunkan secara cepat jumlah kuman TB yang terdapat dalam tubuh pasien dan meminimalisasi risiko penularan. Jika pada tahap awal OAT ditelan secara teratur dengan dosis yang tepat, risiko penularan umumnya sudah berkurang setelah dua minggu pertama tahap awal pengobatan. Tahap awal juga bertujuan untuk memperkecil pengaruh sebagian kecil kuman TB yang mungkin sudah resisten terhadap OAT sejak sebelum dimulai pengobatan. Durasi pengobatan tahap awal pada pasien TB sensitif obat (TB-SO) adalah dua bulan.  Pengobatan dilanjutkan dengan tahap lanjutan. Pengobatan tahap lanjutan bertujuan untuk membunuh sisa kuman TB yang tidak mati pada tahap awal sehingga dapat mencegah kekambuhan. Durasi tahap lanjutan berkisar antara 4 – 6 bulan.

EFEK SAMPING OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping sehingga pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat. Jika efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatis, maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda gangguan pada syaraf tepi berupa kesemutan, rasa terbakar di kakitangan, dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah gejala defisiensi piridoksin (sindrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien.

2. Rifampisin Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis adalah : - Sindrom flu berupa demam, menggigil, dan nyeri tulang.  Sindrom dispepsia berupa sakit perut, mual, penurunan nafsu makan, muntah, diare. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah : - Hepatitis imbas obat dan ikterik, bila terjadi maka OAT harus diberhentikan sementara. - Purpura, anemia hemolitik akut, syok, dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi meskipun gejala telah menghilang. - Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas. Rifampisin dapat menyebabkan warna kemerahan pada air seni, keringat, air mata, dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.

3. Pirazinamid Efek samping berat yang dapat terjadi adlaah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi dan dapat diatasi dengan pemberian antinyeri, misalnya aspirin. Terkadang dapat terjadi serangan artritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan penurunan ekskresi dan penimbunan asam urat. Terkadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan, dan reaksi kulit yang lain

4. Etambutol Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna merah dan hijau. Namun gangguan penglihatan tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, sangat jarang terjadi pada penggunaan dosis 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan saraf okuler sulit untuk dideteksi, terutama pada anak yang kurang kooperatif.

5. Streptomisin Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang dapat dirasakan adalah telinga berdenging (tinitus), pusing, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan dapat berlanjut dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah, dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga berdenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gram. Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan h

 

 

Share this Post:
Unduh File